Pernikahan tanpa Pacaran
Aku pikir memulai pernikahan sebuah keputusan yang tepat pada saat itu, tanpa ada resiko dan sesuatu hal yang harus diperjuangkan dan dipertaggungjawabkan. Nyatanya menambah orang baru dalam sebuah kehidupan dan rutinitas kita juga menimbulkan permasalahan-permasalahan baru. Adaptasi karakter misalnya.
Pernikahan yang awalnya bertujuan meringankan beban keluarga, nyatanya menjadi sebuah momen ibadah sepanjang masa. Dimana akan lebih banyak lagi persoalan dan goals yang harus diperjuangkan. Tidak hanya impian yang dipertaruhkan, terkadang kita juga harus merelakan suatu pencapaian tertunda. Karena menikah bukan hanya kebahagiaan satu orang, diriku atau dirinya. Melainkan kebahagiaan dua orang tanpa ada pengorbanan hanya salah satu pihak saja.
Di awal pernikahan memang sungguh indah rasanya. Apalagi pernikahan tanpa ada ikatan pacaran di sebelumnya. Semua tingkah laku dan sifat merupakan suatu hal baru yang masih bisa ditolerir. Misalnya masalah komunikasi, aku baru menyadari tidak semua pria pandai untuk mengekspresikan diri. Seperti suamiku misalnya. satu bulan pertama aku masih bisa memaklumi bahwa dia memiliki sifat yang seistimewa itu.
Sifat dimana semuanya dipendam dengan sendirinya, karena memang tidak mau menambah beban fikiran istrinya, yang masih kecil. Aku dan suamiku terpaut 6 tahun. Bukan hanya masalah perbedaan tahun yang menjadi masalah baru. Namun pengalaman menjalin hubungan dengan lawan jenis juga mempengaruhinya. Aku yang tidak pernah menjalin hubungan selain pertemanan, terkadang sulit bagaimana memperlakukan sorang pria. Bagaimana harusnya memposisikan sebagai pasangan, tentang batasan perhatian terhadap seorang pria, tentang cara berkomunikasi dengan seorang pria yang bisa dianggap spesial.
Bulan kedua rasa memaklumi sedikit demi sedikit berubah menjadi sebuah tuntutan sikap. Dimana aku ingin diprioritaskan. Jarang komunikasi menjadi persoaalan yang semakin rumit. Aku pernah bertanya, apakah di dalam pernikahan itu seperti ini? hanya ada hak dan kewajiban, tidak bolehkan dalam pernikahan berbicara hal bercanda, hal ringan yang tak banyak arti. Misalnya, membicarakan "Aku hari ini masak gosong" atau hanya sekedar "Aku lupa menyelamatkan baju yang kehujanan".
Bulan ketiga aku mulai mengkomunikasikan semua keresahan. Dengan suara yang meledak-ledak, karena sudah tertahan sangat lama. Rasa takut memang asih ada, boleh atau tidak boleh, sopan atau tidak sopan membicarakan hal semacam ini pada suami yang baru di kenalnya lewat 3 bulan pernikahan. Sempat aku berfikir, apakah hal ini menjadikanku istri durhaka bila aku membicarakanya.
Memutuskan untuk membicarakanya sebelum tidur memang tepat bagiku, mulai dari kebiasaan kalau mandi harus menutup odol, kalau makan piring di taruh di tempat yang semestinya, sampai kalau mengambil baju tanpa harus berantakan. Dan diakhiri obrolan berat masalah komunikasi dalam sebuah pernikahan. Aku tidak tahu apakah semua perempuan yang baru menikah mengalami hal seperti ini, yang pasti aku sebagai perempuan yang baru saja kehilangan rutinitas kerja dan memutuskan sementara menjadi ibu rumahtangga. Aku ingin dianggap sebagai istri meski hanya di ajak membicarakan tentang "Suamiku sepedanya bocor waktu mau berangkat kerja" dan ditelfon ketika pulang terlambat. Dan berpamitan ketika berangkat kerja.
Yang kuingat waktu itu aku pernah mengatakan "Kamu menikahimu untuk dijadikan istri atau simpanan, aku baru menjalin hubungan dengan seorang pria dan itu kamu. jika memang salah ajari aku bagaimana yang sebenarnya dan apa yang kamu inginkan. Jika kamu menganggap aku simpanan yang hanya perlu di beri nafkah materi, antarkan aku pulang ke Jawa, antarkan aku ke rumah ibuku. karena aku keluar rumah naik pesawat melewati pulau, yang aku ikuti hanya kamu. jangankan teman, saudarapun aku tak punya disini. Aku merasa kesepian, peralihan yang mulanya menjadi perempuan pekerja dan sekarang harus menjadi ibu rumahtangga, bagiku cukup sulit. Beri aku waktu, dan ajari aku harusnya bagaimana. Aku tidak mau dalam sebuah rumah tanpa ada komunikasi apapun. Insyaallah aku sudah cukup bahagia ketika kamu berpamitan ketika mau berangkat kerja".
Setelah hari itu, semuanya berubah secara perlahan. Suasana rumah yang mulanya hening, sekarang mulai ada suara meski hanya 2 orang. Aku dan suamiku.
Dan akhirnya aku menyadari, ternyata pernikahan yang sempurna bukan berasal dari pasangan yang sempurna. Melainkan sikap 2 orang yang bisa menerima ketidaksempurnaan untuk menjadikanya sempurna, yaitu dengan rasa bersyukur. So, pernikahan tidaklah mudah. Tapi bukan juga sesuatu hal yang sulit, asalkan tahu celah mana yang harus diperbaiki. Karena setiap persoaalan pasti ada jawabanya, haya butuh waktu.
Komentar
Posting Komentar